Selasa, 23 September 2014

makalah as sunnah sebagai sumber ajaran islam


AS SUNNAH SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Makalah
Di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Pengantar studi islam
Dosen pembimbing : Dr. Mohammad Salik, M.Ag


 










Disusun oleh :
1.      Nida’an Akhsanah                        NIM : D75214044
2.      Nuril Ilmi                                      NIM : D75214045
3.   Nurul Asrofah                               NIM : D75214046




FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
I.                   PENDAHULUAN
Dalam sumber ajaran islam , dikenal terminology al-hadist yang sering diberi arti yang sama dengan as sunnah. Oleh karena itu, kedua kata tersebut biasa dipakai secara bergantian, dalam pemakaiannya as sunnah dipahami sebagai perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad SAW. As sunnah diakui sebagai sumber atau dasar kedua dari ajaran islam, mendampingi al-quran. Untuk memahami ajaran islam dalam segala aspeknya tidak cukup hanya merujuk pada ayat-ayat al-quran saja, melainkan harus dilengkapi dengan rujukan al-hadist ataupun as sunnah

II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian As Sunnah
2.      Fungsi As Sunnah sebagai sumber ajaran Islam
3.      Kedudukan As Sunnah dalam syari’at Islam


III.             PEMBAHASAN

1.      Pengertian As Sunnah
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.([1])

As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i.
Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia sebagai undang-undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi perundang-undangan tersebut.
As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah.([2])
As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.[3]







2.      Fungsi As Sunnah sebagai sumber ajaran Islam
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa as-sunnah berfungsi sebagai bayan, penjelas, dari ayat-ayat al-Quran. Dalam banyak kasus, ayat-ayat al-Quran tidak akan dapat dipahami dan/atau dilaksanakan bila tidak memperhatikan bayan yang pernah diberikan oleh Nabi saw. Tanpa pengetahuan tentang as-sunnah, niscaya tidak mungkin mengetahui dan memahami maksud dari ayat-ayat al-Quran sebagaimana mestinya. Umat Islam mempercayai bahwa dasar utama ajaran Islam adalah al-Quran, dan untuk memahami serta untuk mengejawantahkan ajaran yang ada di dalamnya diperlukan as-sunnah. Atas dasar pemahaman demikian, dapat ditegaskan bahwa al-sunnah adalah dasar kedua ajaran Islam. Dengan demikian, ajaran Islam tidak hanya yang termuat di dalam al-Quran saja, tetapi juga terungkap di dalam as-sunnah. Bila ingin mengetahui bagaimana Islam mengatur suatu urusan, maka perlu dicari ketentuan dan aturannya di dalam keduanya, al-Quran dan al-sunnah. Sebaliknya, berbagai ketentuan dan aturan yang tidak ada di dalam al-Quran dan al-sunnah tentu saja tidak dapat dikatakan sebagai ajaran Islam. Di samping al-Quran, hanyalah as-sunnah yang harus dijadikan dasar atau landasan dalam ber-Islam.
Dalam sejarah perkembangan Islam, memang ada orang yang tidak menganggap bahwa as-sunnah adalah dasar ajaran Islam. Mereka berpendapat bahwa Islam hanya didasarkan atas ajaran yang termaktub di dalam al-Quran saja. Hanya saja, kelompok yang biasa dikenal dengan golongan inkar as-sunnah ini hanya terdiri dari segelintir orang. Mereka termasuk kelompok sempalan di tengah-tengah umat Islam. Argumentasi penolakan mereka terhadap as-sunnah sangat lemah, bahkan tidak sejalan dengan penegasan al-Quran sendiri.
Para ulama merumuskan bahwa penjelasan yang diberikan oleh as-sunnah terhadap ayat-ayat al-Quran dapat berbentuk sebagai bayan al-tafsir, rincian atau uraian lebih lanjut dari apa yang dinyatakan di dalam al-Quran, atau bayan al-taqrir, konfirmasi atau penegasan terhadap pernyataan ayat-ayat al-Quran, bayan al-tasyri’, keterangan tambahan terhadap ketentuan-ketentuan yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam al-Quran. Rincian tentang berbagai bentuk bayan ini dapat dilihat lebih jauh di dalam buku-buku ushul fikih.
3.         Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam

      Sunnah dalam kedudukan Islam memiliki kedudukan yang sangat penting.   Di mana hadis merupakan salah satu sumber hukum ke dua setelah al-Qur’an.          al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa adanya hadis. Memakai al-Qur’an tanpa  mengambil hadis sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa menggunakan hadis. Kaitannya dengan kedudukan hadis/sunnah disamping al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, maka al-Qur’an merupakan sumber pertama sedangkan hadis merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara al-Qur’an dan hadis karena keduanya adalah wahyu Allah.
       Nabi Muhammad saw. sendiri memberitahukan kepada umatnya bahwa        di samping al-Qur’an juga masih terdapat suatu pedoman yang sejenis dengan    al-Qur’an, untuk tempat berpijak dan berpandangan sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya sebagai berikut, “wahai umatku, sesungguhnya aku diberi al-Qur’an dan menyamainya” (HR. Abu Daud, Ahmad, dan al-Turmudzi).
       Tidak diragukan lagi bahwa yang menyamai (semisal) al-Qur’an itu adalah sunnah/hadis, yang merupakan pedoman untuk mengamalkan dan ditaati sejajar dengan al-Qur’an. Dan sekaligus sebagai salah satu dasar penetapan hukum Islam setelah al-Qur’an.
       Menurut Al-Syathihi kedudukan sunnah/hadits berada di bawah al-qur’an karena, ([3])
1.         Al-Qur’an diterima secara qath’i (meyakinkan), sedangkan hadits           di terima secara zhanni, kecuali hadits Mutawatir. Keyakinan kita kepada hadis hanyalah secara global, bukan secara detail. Sedangkan al-Qur’an baik secara global maupun secara detail diterima secara meyakinkan.
2.         Hadis ada kalanya menerangkan sesuatu yang bersifat global dalam      al-Qur’an, ada kalanya memberi komentar terhadap al-Qur’an dan ada kalanya membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan oleh al-Qur’an. Jika hadis berfungsi menerangkan atau memberi komentar terhadap al-Qur’an,
maka status hadis tidak sama dengan derajat al-Qur’an yang diberi penjelasan. Al-Qur’an pasti lebih utama daripada hadis.
3.         Di dalam Hadits sendiri terdapat petunjuk mengenai hal tersebut, yakni Hadits menduduki posisi ke dua setelah Al-Qur’an.
       Sedangkan menurut pendapat Mahmud Abu Rayyah, posisi as-sunnah atau   al- hadits itu berada di bawah Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sampai kepada umat islam dengan jalan mutawatir dan tidak ada keraguan sedikitpun. Al-Qur’an datangnya dengan qath’i al-wurud, yaitu kepastian jalannya sampai kepada kita dan qath’i al-tsubu, yaitu eksistensi atau ketetapannya meyakinkan atau pasti. Sedangkan hadits atau as-sunnah sampai kepada umat islam tidak semuanya mutawatir, tetapi kebanyakannya adalah diterima dengan periwayatan tunggal (ahad). Kebenarannya ada yang qath’i (pasti) dan zhanni (diduga benar), karena masih banyak hadits yang tidak sampai kepada umat Islam. Disamping itu, banyak pula hadits-hadits daif.





























IV.             KESIMPULAN

1.        Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasul baik setelah ke nabiannya maupun sebelum ke nabiannya.
2.        Kedudukan as-sunnah dalam sumber ajaran agama Islam menempati urutan ke dua setelah al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia. Ayat-ayat dalam al-Qur’an juga perlu mendapat penjelasan dari hadis karena banyak ayat-ayat al-Qur’an yang masih berupa pernyataan secara global untuk itu perlu adanya sunnah/hadis untuk menjelaskannya secara terperinci.
3.      Sunnah/hadis bisa berfungsi sebagai penjelas dari ayat-ayat yang masih global di dalam al-Qur’an.

V.                PENUTUP

Demikianlah makalah yang kami buat ini. Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayat, serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami menyadari penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata “sempurna”. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan penyusunan makalah yang lebih baik lagi. Semoga uraian-uraian yang kami sampaikan dapat bermanfaat bagi kami dan para pembaca. Amin.


[1] Qawaa’idut Tahdits (hal. 62), Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul Hadits, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, cet. IV Darul Fikr 1401 H, Taisir Muthalahil Hadits (hal. 15), Dr. Mahmud ath-Thahhan.
[2]  kitab Irsyaadul Fuhuul asy-Syaukani (hal. 32), Fat-hulBaari (XIII/245-246), Mafhuum Ahlis Sunnah wal Jama’ah ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 37-43).
3 buku penulis, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hal. 10).
[3] Muhaimin, Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 130.

Tidak ada komentar: